Pandangan dunia terhadap Asia Tenggara tak hanya berasal dari pelaut Eropa atau penjelajah Arab. Di awal abad ke-17, seorang sejarawan dari India Mughal telah mencatat wilayah-wilayah di Asia Tenggara dalam karya tulisnya yang bernilai tinggi. Dialah Tahir Muhammad Sabzwari, penulis Rauzat ut-Tāhirīn, atau Taman yang Suci, yang kini menjadi perhatian baru dalam kajian hubungan antara Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Karya Tahir Muhammad ini menjadi objek kajian menarik dalam artikel berjudul Southeast Asia as Seen from Mughal India, yang ditulis oleh dua sejarawan terkemuka, Muzaffar Alam dan Sanjay Subrahmanyam. Artikel ini membedah isi dari Rauzat ut-Tāhirīn dan menunjukkan bagaimana Asia Tenggara hadir dalam pemikiran dan pandangan sejarawan Muslim dari anak benua India pada masa pemerintahan kekaisaran Mughal.
Berbeda dari pandangan yang sering menyebut para intelektual Mughal terisolasi dan hanya memusatkan perhatian pada wilayah India, karya Tahir Muhammad menunjukkan bahwa para cendekiawan saat itu memiliki pandangan yang luas terhadap dunia Islam, termasuk Asia Tenggara. Dalam Rauzat ut-Tāhirīn, Tahir Muhammad menyebut sejumlah wilayah Asia Tenggara seperti Aceh, Malaka, Maluku, dan Sri Lanka.
Dalam tulisannya, Aceh disebut sebagai “Achin”, sementara Malaka dikenal sebagai “Malāqa”. Wilayah-wilayah ini dicatat sebagai bagian penting dari jaringan dunia Islam, sekaligus menunjukkan bahwa penulis memahami posisi strategis Asia Tenggara dalam jalur pelayaran dan penyebaran agama. Ini menunjukkan tingkat pengetahuan geografis dan historis yang mendalam dari penulis.
Tahir Muhammad sendiri berasal dari Iran dan merupakan imigran ke India. Ia hidup di tengah perkembangan pesat dunia literasi, politik, dan keagamaan di bawah kekuasaan Mughal. Dalam konteks itu, Rauzat ut-Tāhirīn menjadi representasi penting bagaimana dunia luar—khususnya Asia Tenggara—dipahami dan ditafsirkan dalam lingkungan istana Mughal.
Artikel Alam dan Subrahmanyam mengungkap bahwa Rauzat ut-Tāhirīn bukan hanya karya sejarah lokal, tetapi sejarah universal dengan cakupan geografis luas. Penulisnya mencoba merangkai sejarah dunia Islam dari berbagai wilayah yang secara politik maupun spiritual memiliki koneksi dengan dunia Mughal.
Lebih dari sekadar peta kekuasaan, narasi Tahir Muhammad menempatkan Asia Tenggara sebagai bagian dari dunia Islam yang utuh dan bersatu. Ini tercermin dari bagaimana ia mencatat hubungan antarwilayah bukan hanya berdasarkan kekuasaan militer, tapi juga berdasarkan jaringan ulama, perdagangan, dan keilmuan.
Keberadaan Aceh dan Maluku dalam karya tersebut, misalnya, tidak hanya menunjukkan ketenaran wilayah itu di mata dunia, tetapi juga menjadi bukti pentingnya posisi mereka dalam jalur perdagangan rempah dan pusat-pusat intelektual Islam. Tahir Muhammad menyebutnya dengan bahasa penuh hormat dan apresiasi.
Artikel ini menjadi penting karena membuka perspektif baru bahwa Asia Tenggara, pada masa itu, telah memiliki tempat dalam peta intelektual Islam di luar wilayahnya sendiri. Bahkan, wilayah ini tidak hanya dikenal oleh tetangganya di Timur Tengah, tetapi juga oleh para sarjana di India yang tengah membangun peradaban besar.
Alam dan Subrahmanyam juga menunjukkan bagaimana karya ini dapat menjadi jendela baru dalam memahami hubungan antara kekaisaran Mughal dan kawasan Asia Tenggara. Karya ini seolah menjadi bukti bahwa Islam di Asia bukan entitas terpisah, melainkan terhubung oleh jaringan pemikiran, perjalanan, dan komunikasi antarwilayah.
Penelitian ini sekaligus menantang anggapan umum bahwa hanya Ottoman yang aktif menjalin relasi dengan Asia Tenggara. Justru, melalui Tahir Muhammad, terlihat bahwa kalangan Mughal juga tidak tertinggal dalam memperhatikan wilayah ini, meski lebih banyak diekspresikan lewat tulisan dan karya intelektual dibandingkan ekspedisi militer.
Dengan pendekatan naratif dan sastra sejarah yang khas, Tahir Muhammad berhasil menyampaikan pandangan yang bukan hanya faktual, tetapi juga penuh imajinasi tentang dunia Islam. Ia menggambarkan Asia Tenggara sebagai bagian dari ekosistem besar yang saling terkait dalam sejarah umat Islam.
Muzaffar Alam dan Sanjay Subrahmanyam, sebagai dua tokoh utama dalam studi sejarah global Islam, telah berhasil menghadirkan kembali suara yang nyaris terlupakan dari abad ke-17 ini. Mereka menggali kembali warisan intelektual yang dapat memperkaya narasi sejarah regional kita hari ini.
Bagi dunia akademik modern, Rauzat ut-Tāhirīn bisa menjadi sumber primer penting dalam merumuskan kembali bagaimana hubungan antarwilayah Islam dibangun sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Ini memberi petunjuk bahwa dunia Islam sudah memiliki struktur komunikasi globalnya sendiri.
Artikel ini juga memberikan pelajaran penting bahwa sejarah Asia Tenggara tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang lokal atau kolonial. Perspektif Mughal dalam karya Tahir Muhammad menunjukkan bahwa pandangan dunia terhadap Asia Tenggara sudah terbentuk sejak lama dalam dunia Islam.
Bagi peneliti Indonesia, temuan ini membuka peluang baru untuk menjajaki lebih dalam interaksi antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dan kekuatan-kekuatan Islam di anak benua India. Bisa jadi, hubungan itu lebih kaya daripada yang selama ini terpetakan dalam literatur sejarah umum.
Dengan menghidupkan kembali karya seperti Rauzat ut-Tāhirīn, Alam dan Subrahmanyam mengingatkan kita bahwa sejarah bukan sekadar masa lalu yang usang, tapi juga jembatan pemahaman antarbangsa dan antarbudaya. Ini sangat relevan dalam membangun kesadaran sejarah yang inklusif dan lintas batas.
Pada akhirnya, karya Tahir Muhammad dan telaah dari dua sejarawan modern ini memberi kontribusi besar dalam mengisi kekosongan narasi sejarah Islam Asia Tenggara. Ia menempatkan kawasan ini sebagai bagian integral dari peradaban Islam global, bukan sekadar wilayah pinggiran dalam cerita besar dunia.
0 comments:
Post a Comment