Memanas Lagi: India-Pakistan di Ambang Perang?


Konflik antara India dan Pakistan kembali memanas setelah insiden tembak-menembak yang terjadi di wilayah perbatasan. Dunia dikejutkan oleh laporan bahwa lima jet tempur India berhasil ditembak jatuh oleh sistem pertahanan udara Pakistan. Sebelumnya, serangan rudal India pada Selasa malam menghantam wilayah Pakistan dan menewaskan sedikitnya delapan orang, melukai 35 lainnya, serta menyebabkan dua orang dinyatakan hilang.

Situasi ini mengingatkan kembali bahwa perdamaian di Asia Selatan masih sangat rapuh. Meski kedua negara memiliki kapasitas diplomatik untuk meredakan ketegangan, dinamika politik dalam negeri dan perlombaan senjata membuat penyelesaian konflik tampak jauh dari kenyataan. Serangan timbal balik ini memicu pertanyaan serius: apakah keduanya sedang menuju konfrontasi berskala penuh?

India dan Pakistan memiliki sejarah panjang konflik sejak kemerdekaan mereka dari Inggris pada 1947. Tiga perang besar telah terjadi, serta banyak insiden kecil yang memanas sewaktu-waktu. Namun yang membedakan eskalasi kali ini adalah tingkat modernisasi militer yang jauh lebih tinggi dan keterlibatan teknologi canggih, seperti drone dan sistem artileri otomatis.

India, dengan PDB yang jauh lebih besar, memiliki industri pertahanan dalam negeri yang berkembang pesat. Di bawah kebijakan “Make in India”, New Delhi telah meningkatkan produksi lokal pesawat tempur Tejas, rudal BrahMos, dan drone Rustom-II. Sementara Pakistan, walaupun ekonominya lebih kecil, berhasil menutupi ketertinggalannya melalui aliansi erat dengan Tiongkok dan Turki, yang secara aktif memasok sistem tempur seperti drone Bayraktar dan jet JF-17.

Ketika membandingkan kekuatan industri pertahanan kedua negara, India lebih mandiri dan memiliki kapasitas produksi massal. Perusahaan seperti HAL, DRDO, dan Bharat Dynamics Ltd kini menjadi tulang punggung utama pertahanan India. Di sisi lain, Pakistan sangat bergantung pada Heavy Industries Taxila (HIT) dan Pakistan Aeronautical Complex, yang banyak memproduksi peralatan militer dengan lisensi dari Tiongkok.

Dalam simulasi adu drone antara keduanya, kedua negara sudah mengoperasikan sistem drone kelas MALE (Medium Altitude Long Endurance). India memiliki Tapas-BH dan sedang mengembangkan Combat Air Teaming System (CATS), sementara Pakistan mengoperasikan Burraq serta Wing Loong II buatan Tiongkok. Namun keduanya masih belum sepenuhnya mandiri dalam memproduksi komponen vital seperti avionik, kamera FLIR, dan mesin turboprop.

Jika konflik berkembang menjadi adu artileri intens, pertanyaan yang muncul adalah: apakah kedua belah pihak telah menyiapkan industri artileri mereka? India memiliki beberapa pabrik besar seperti Ordnance Factory Board dan pabrik swasta Larsen & Toubro yang memproduksi howitzer Dhanush dan K9 Vajra. Sementara Pakistan terus memperluas produksi artileri bergerak SH-15 dan sistem kaliber 155mm dengan lisensi Tiongkok.

Konflik berskala besar seperti ini akan memberikan keuntungan besar bagi beberapa negara produsen senjata global. Amerika Serikat, misalnya, akan diuntungkan jika India terus membeli sistem pertahanan seperti Patriot atau jet tempur F-35. Rusia, yang selama ini menjadi pemasok utama India, juga akan mendapat keuntungan besar dari penjualan S-400 dan rudal BrahMos yang diproduksi bersama.

Sementara itu, Tiongkok menjadi pemasok utama bagi Pakistan. Dalam skenario perang, Beijing dapat meningkatkan ekspor drone, sistem radar, dan amunisi cerdas ke Islamabad. Turki juga akan mendapat pangsa pasar melalui penjualan drone Bayraktar TB2 dan sistem pertahanan anti-drone ke Pakistan.

Perancis pun tak ketinggalan. Penjualan Rafale ke India bisa ditingkatkan jika Angkatan Udara India merasa perlu menambah kekuatan. Bahkan Israel, dengan keunggulannya dalam sistem drone dan intelijen elektronik, dapat bermain di kedua sisi meski lebih condong ke India sebagai mitra teknologi.

Korea Selatan dan Italia juga mulai menunjukkan ketertarikan dalam menjual sistem artileri dan amunisi pintar ke kawasan Asia Selatan. Jika perang berkepanjangan, mereka bisa menawarkan alternatif sistem yang lebih murah dan cepat diproduksi.

Namun konsekuensi dari semua ini sangat besar. Eskalasi militer yang terus berlanjut bukan hanya meningkatkan biaya pertahanan, tetapi juga membahayakan jutaan warga sipil yang tinggal di daerah perbatasan. Tekanan ekonomi domestik di kedua negara pun bisa meningkat tajam.

India dan Pakistan sebenarnya memiliki potensi besar untuk kerja sama ekonomi dan regional, namun terhambat oleh narasi kebencian dan ketidakpercayaan yang diwariskan secara turun-temurun. Ketegangan yang memuncak saat ini, dengan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur, menunjukkan bahwa pendekatan militer belum pernah menyelesaikan konflik jangka panjang.

Kedua negara memerlukan mekanisme dialog baru, lebih dari sekadar pertemuan simbolis. Peran negara-negara penengah seperti Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan bahkan Qatar bisa semakin penting dalam meredakan ketegangan dan membuka jalur negosiasi damai.

Jika tidak ada perubahan dalam waktu dekat, konflik ini bukan hanya akan menambah jumlah korban, tapi juga memicu perlombaan senjata yang lebih gila, merugikan stabilitas kawasan dan memperkaya industri senjata global yang tak pernah peduli pada perdamaian.

Sampai kapan ini berlanjut? Jawabannya ada pada keberanian para pemimpin India dan Pakistan untuk memilih masa depan yang damai dan saling menghormati—alih-alih terus memelihara dendam sejarah dengan harga yang sangat mahal.


Dibuat oleh AI

Share on Google Plus

About Admin2

Aksi damai yang digelar jutaan umat Islam di Monas, Jakarta ternyata memberi kesan indah merupakan aksi damai Pancasila; Yakni aksi yang religi, diisi ibadah, damai, bermoral tinggi, saling menghargai antara peserta dan aparat keamanan, saling bantu antara peserta aksi dan masyarakat.

0 comments:

Post a Comment

loading...