Pajak Sepeda Orba: "Klomir" Cirebon, Bukti Unik Sejarah

Di tengah hiruk pikuk pembangunan dan stabilitas politik yang digaungkan pemerintahan Orde Baru, terselip sebuah kebijakan unik yang mungkin kini terasa asing di telinga generasi milenial dan Z.

Tahukah Anda, pada masa pemerintahan yang berlangsung selama tiga dekade tersebut, kepemilikan sepeda pun tak luput dari kewajiban pajak. Sebuah fakta sejarah lokal yang menarik untuk ditelisik lebih dalam, khususnya bagi masyarakat Cirebon dan sekitarnya.

Masyarakat Cirebon tempo dulu mengenal pajak sepeda ini dengan sebutan "Klomir". Bukan berupa lembaran uang yang disetorkan ke kas negara, melainkan sebuah stiker khusus yang wajib ditempelkan pada setiap sepeda. Stiker inilah yang menjadi bukti bahwa sang pemilik telah menunaikan kewajibannya membayar pajak atas kendaraan roda dua tanpa mesin tersebut.

Keberadaan "Klomir" ini bukan sekadar tempelan biasa. Ia memiliki fungsi layaknya surat tanda nomor kendaraan (STNK) pada kendaraan bermotor saat ini. Sepeda yang tidak memiliki stiker "Klomir" dianggap ilegal dan pemiliknya terancam sanksi berupa tilang dari aparat berwenang. Sebuah konsekuensi yang cukup memberatkan bagi sebagian masyarakat yang menjadikan sepeda sebagai alat transportasi utama dalam kegiatan sehari-hari.

Lantas, apa sebenarnya latar belakang dan tujuan dari pemberlakuan pajak sepeda di era Orde Baru ini? Meskipun catatan sejarah yang mendetail mengenai kebijakan ini mungkin tidak terlalu banyak terdokumentasi secara nasional, dapat diasumsikan bahwa ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan daerah.

Sepeda, sebagai alat transportasi yang cukup populer di kalangan masyarakat pada masa itu, tentu menjadi potensi sumber pendapatan yang tidak bisa diabaikan.

Selain itu, kebijakan ini juga bisa dilihat sebagai bentuk pendataan kepemilikan aset di masyarakat. Dengan adanya stiker "Klomir", pemerintah daerah memiliki catatan mengenai jumlah sepeda yang beredar di wilayahnya. Data ini tentu berguna untuk berbagai keperluan administrasi dan perencanaan pembangunan di masa depan.

Namun, di sisi lain, kebijakan pajak sepeda ini tentu menimbulkan berbagai respons dari masyarakat. Bagi sebagian kalangan, khususnya mereka yang memiliki kondisi ekonomi pas-pasan, kewajiban membayar pajak sepeda bisa menjadi beban tambahan. Sepeda yang seharusnya menjadi alat transportasi yang murah dan merakyat, justru menjadi objek pajak yang menambah pengeluaran.

Meskipun demikian, sebagian masyarakat lainnya mungkin menerima kebijakan ini sebagai bentuk kontribusi terhadap pembangunan daerah. Mereka memahami bahwa setiap warga negara memiliki kewajiban untuk turut serta dalam memajukan wilayahnya, termasuk melalui pembayaran pajak.

Seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman, kebijakan pajak sepeda ini pun akhirnya menghilang.

Peralihan fokus pembangunan dan peningkatan jumlah kendaraan bermotor mungkin menjadi salah satu faktor utama di balik penghapusan kebijakan yang unik ini. Sepeda, yang dulunya menjadi objek pajak, kini kembali menjadi alat transportasi yang bebas dari pungutan biaya tambahan.

Kisah tentang "Klomir" ini menjadi pengingat akan dinamika kebijakan publik yang terus berubah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Ia juga menjadi catatan sejarah lokal yang menarik, khususnya bagi masyarakat Cirebon, tentang bagaimana sepeda pernah menjadi bagian dari sumber pendapatan daerah di masa lalu.

Meskipun terkesan sederhana, kebijakan pajak sepeda di era Orde Baru ini menyimpan berbagai dimensi sosial, ekonomi, dan politik. Ia mencerminkan bagaimana pemerintah pada masa itu berupaya mengoptimalkan setiap potensi sumber pendapatan, bahkan dari kepemilikan alat transportasi yang tergolong sederhana seperti sepeda.

Kini, jejak "Klomir" mungkin hanya tersisa dalam ingatan sebagian kecil masyarakat Cirebon yang pernah mengalaminya.

Namun, cerita ini tetap menjadi bagian penting dari sejarah lokal yang patut untuk dikenang dan dipelajari, sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia dalam menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Kisah ini juga memberikan perspektif menarik tentang bagaimana nilai dan fungsi sebuah benda dapat berubah seiring berjalannya waktu dan kebijakan yang berlaku. Sepeda, yang dulunya dikenai pajak, kini justru didorong penggunaannya sebagai alat transportasi ramah lingkungan dan menyehatkan.

Melalui kisah "Klomir", kita diajak untuk merenungkan bagaimana setiap kebijakan, sekecil apapun, memiliki dampaknya tersendiri bagi kehidupan masyarakat. Ia juga mengajarkan kita untuk tidak melupakan sejarah, karena di dalamnya terdapat pelajaran berharga yang dapat menjadi bekal untuk menatap masa depan.

Bagi generasi muda, kisah "Klomir" mungkin terdengar seperti cerita unik yang sulit dipercaya. Namun, inilah sepotong fakta sejarah yang pernah terjadi di negeri ini, khususnya di tanah Cirebon. Sebuah bukti bahwa roda kehidupan terus berputar, dan setiap era memiliki cerita dan kebijakannya sendiri.

Maka, mari kita terus menggali dan mempelajari sejarah bangsa kita, termasuk kisah-kisah unik seperti "Klomir" di Cirebon. Dengan memahami masa lalu, kita akan lebih bijak dalam menyikapi masa kini dan merancang masa depan yang lebih baik.

Kisah tentang "Klomir" ini adalah secuil mozaik dari perjalanan panjang bangsa Indonesia. Ia mengingatkan kita bahwa sejarah tidak hanya tentang peristiwa besar dan tokoh-tokoh penting, tetapi juga tentang kehidupan sehari-hari masyarakat dan kebijakan-kebijakan unik yang pernah mewarnai zamannya.

Semoga kisah ini dapat menambah wawasan kita tentang sejarah lokal dan nasional, serta menumbuhkan rasa ingin tahu untuk terus belajar dan menggali lebih dalam tentang masa lalu bangsa kita.

"Klomir" bukan hanya sekadar stiker pajak sepeda, tetapi juga simbol dari sebuah era dan kebijakan yang kini telah menjadi bagian dari sejarah. Ia adalah pengingat akan bagaimana kehidupan dan kebijakan publik terus mengalami perubahan dan perkembangan seiring dengan berjalannya waktu.

Mari kita jadikan kisah "Klomir" ini sebagai inspirasi untuk terus belajar dari sejarah dan menghargai setiap jejak langkah yang telah dilalui bangsa ini.

Dibuat oleh AI
Share on Google Plus

About Admin2

Aksi damai yang digelar jutaan umat Islam di Monas, Jakarta ternyata memberi kesan indah merupakan aksi damai Pancasila; Yakni aksi yang religi, diisi ibadah, damai, bermoral tinggi, saling menghargai antara peserta dan aparat keamanan, saling bantu antara peserta aksi dan masyarakat.

0 comments:

Post a Comment

loading...