Membaca buku 'The Ruling Elite of Singapore' di atas dan hubungannya dengan Badan Usaha Temasek, terlihat sepintas bagaimana pergumulan kekuasaan bisa tetap terjaga dengan berdirinya dan semakin makmurnya badan usaha negara tersebut, Temasek.
Dalam makna yang luas, pergumulan tersebut dapat dianggap sebagai personifikasi (non-politik) Muhammadiyah, NU, NW, Alwashliyah, JBMI dan ormas lainnya dalam politik Indonesia.
Membangun amal usaha Muhammadiyah, NU dll menjadi sekelas Temasek yang mendunia dan menjadi ujung tombak diplomasi ekonominya, dalam beberapa dekade saja, bukanlah sebuah impian yang jauh dari pelupuk mata.
Berbeda dengan BUMN, BUMD dan BUMDes milik negara, misalnya, amal usaha ormas dapat bergerak lebih lincah sebagaimana perusahaan-perusahaan swasta pada umumnya.
Kini Temasek telah menjadi salah satu perusahaan dengan omzet terbesar di ASEAN dan bahkan dunia dengan berbagai cabang di luar negeri. BUMN ini berhasil mengubah Singapura, dari sebuah pulau jajahan Inggris yang dikuasai oleh orang-orang kaya Mandailing dari Indonesia, (baca) menjadi sebuah negara yang kuat secara ekonomi. (baca)
Belajar dari kesuksesan itu, bukan tak mungkin badan amal usaha ormas-ormas di Indonesia juga dapat mengikuti jejaknya melayari potensi-potensi ekonomi yang belum terjamah di luar negeri.
Sumber:
Sejarah Singapura memang lekat dengan Inggris. Tokoh dari Inggris yang disebut-sebut sebagai penggagas berdirinya kota pelabuhan Singapura adalah Thomas Stamford Raffles. Dia berkunjung ke Singapura pada 1819, lalu menjadikan kota itu sebagai wilayah koloni kerajaan Inggris di Asia.
Sebelum dikontrol oleh Inggris, Singapura ini didiami oleh para nelayan setempat, para bajak laut, dan kemudian menjadi bagian dari kekaisaran kerajaan Sriwijaya, Sumatera. Singapura merupakan wilayah kota perdagangan tersibuk ketika itu.
Tan Malaka dalam buku berjudul: Dari Penjara ke Penjara, mengatakan pada masa Rafles bahkan penduduk Singapura ketika itu sebanyak 6 ribu orang, dan dikuasai orang-orang Indonesia.
"Menurut satu statistik yang saya baca dalam 'Straits limes' penduduk Singapura baru 6 ribu orang, memang sudah ada orang Tionghoa di masa itu, tapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak. Kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 90 persen dari semua penduduk," kata Tan dalam buku itu.
Bukan hanya soal jumlah penduduk, tetapi hampir seluruh mata pencaharian penduduk di sana masih di tangan orang Indonesia (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis, Palembang, dan lain-lain). Perusahaan, pelayaran, perikanan, perdagangan, dan lainnya, sebagian besar masih di tangan bangsa Indonesia.
Apalagi di pedalaman, kata Tan. Semua mata pekerjaan masih di tangan pribumi (Indonesia). Misalnya pertambangan timah yang terkenal ketika itu, semuanya dikuasai oleh orang-orang Indonesia.
"Di sebutkan dalam satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan timah terbesar ialah dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja Mandailing," tutur Tan.
Namun ketika Singapura dikuasai Inggris, banyak imigran-imigran asing datang ke sana, di antaranya bangsa Tionghoa dan Hindustan. Awalnya mereka juga ada yang bekerja menjadi kuli bersama penduduk pribumi. Tetapi perlahan-lahan, imigran-imigran itu menetap dan jumlahnya kian banyak.
Kondisi ekonomi mereka juga terangkat, hingga akhirnya banyak orang-orang bangsa Tionghoa dan Inggris justru menguasai perkebunan-perkebunan. Cuma ladang getah 'setelapak tangan' luasnya yang dimiliki penduduk asli. Ironisnya, hasil getah setelapak tangan itu pun jatuh ke bawah peraturan "restriction" (pembatasan).
Pada 1937, kata Tan Malaka, jumlah penduduk Singapura ditaksir mencapai 700 ribu orang. Di antaranya ditaksir 600 ribu orang Tionghoa atau sekitar 85 persen, orang Keling-Hindu sebanyak 70 ribu orang atau 10 persen, sedangkan orang Melayu sebanyak 30 ribu orang atau hanya sekitar 5 persen saja.
"Demikianlah jatuh perbandingan banyak bangsa Melayu yang semula 90 persen, tapi ketika Inggris masuk, menyusut sampai tinggal 5 persen, atau 1 persen, dari jumlah penduduk dalam waktu satu abad di kemudian hari."
Dalam makna yang luas, pergumulan tersebut dapat dianggap sebagai personifikasi (non-politik) Muhammadiyah, NU, NW, Alwashliyah, JBMI dan ormas lainnya dalam politik Indonesia.
Membangun amal usaha Muhammadiyah, NU dll menjadi sekelas Temasek yang mendunia dan menjadi ujung tombak diplomasi ekonominya, dalam beberapa dekade saja, bukanlah sebuah impian yang jauh dari pelupuk mata.
Berbeda dengan BUMN, BUMD dan BUMDes milik negara, misalnya, amal usaha ormas dapat bergerak lebih lincah sebagaimana perusahaan-perusahaan swasta pada umumnya.
Kini Temasek telah menjadi salah satu perusahaan dengan omzet terbesar di ASEAN dan bahkan dunia dengan berbagai cabang di luar negeri. BUMN ini berhasil mengubah Singapura, dari sebuah pulau jajahan Inggris yang dikuasai oleh orang-orang kaya Mandailing dari Indonesia, (baca) menjadi sebuah negara yang kuat secara ekonomi. (baca)
Belajar dari kesuksesan itu, bukan tak mungkin badan amal usaha ormas-ormas di Indonesia juga dapat mengikuti jejaknya melayari potensi-potensi ekonomi yang belum terjamah di luar negeri.
Sumber:
Sejarah Singapura memang lekat dengan Inggris. Tokoh dari Inggris yang disebut-sebut sebagai penggagas berdirinya kota pelabuhan Singapura adalah Thomas Stamford Raffles. Dia berkunjung ke Singapura pada 1819, lalu menjadikan kota itu sebagai wilayah koloni kerajaan Inggris di Asia.
Sebelum dikontrol oleh Inggris, Singapura ini didiami oleh para nelayan setempat, para bajak laut, dan kemudian menjadi bagian dari kekaisaran kerajaan Sriwijaya, Sumatera. Singapura merupakan wilayah kota perdagangan tersibuk ketika itu.
Tan Malaka dalam buku berjudul: Dari Penjara ke Penjara, mengatakan pada masa Rafles bahkan penduduk Singapura ketika itu sebanyak 6 ribu orang, dan dikuasai orang-orang Indonesia.
"Menurut satu statistik yang saya baca dalam 'Straits limes' penduduk Singapura baru 6 ribu orang, memang sudah ada orang Tionghoa di masa itu, tapi bangsa Indonesia jauh lebih banyak. Kalau saya masih ingat adalah lebih kurang 90 persen dari semua penduduk," kata Tan dalam buku itu.
Bukan hanya soal jumlah penduduk, tetapi hampir seluruh mata pencaharian penduduk di sana masih di tangan orang Indonesia (Melayu, Minangkabau, Jawa, Bugis, Palembang, dan lain-lain). Perusahaan, pelayaran, perikanan, perdagangan, dan lainnya, sebagian besar masih di tangan bangsa Indonesia.
Apalagi di pedalaman, kata Tan. Semua mata pekerjaan masih di tangan pribumi (Indonesia). Misalnya pertambangan timah yang terkenal ketika itu, semuanya dikuasai oleh orang-orang Indonesia.
"Di sebutkan dalam satu tulisan bahwa menjelang penghabisan abad yang lalu, perusahaan timah terbesar ialah dimiliki dan diusahakan oleh seorang majikan bernama Raja Mandailing," tutur Tan.
Namun ketika Singapura dikuasai Inggris, banyak imigran-imigran asing datang ke sana, di antaranya bangsa Tionghoa dan Hindustan. Awalnya mereka juga ada yang bekerja menjadi kuli bersama penduduk pribumi. Tetapi perlahan-lahan, imigran-imigran itu menetap dan jumlahnya kian banyak.
Kondisi ekonomi mereka juga terangkat, hingga akhirnya banyak orang-orang bangsa Tionghoa dan Inggris justru menguasai perkebunan-perkebunan. Cuma ladang getah 'setelapak tangan' luasnya yang dimiliki penduduk asli. Ironisnya, hasil getah setelapak tangan itu pun jatuh ke bawah peraturan "restriction" (pembatasan).
Pada 1937, kata Tan Malaka, jumlah penduduk Singapura ditaksir mencapai 700 ribu orang. Di antaranya ditaksir 600 ribu orang Tionghoa atau sekitar 85 persen, orang Keling-Hindu sebanyak 70 ribu orang atau 10 persen, sedangkan orang Melayu sebanyak 30 ribu orang atau hanya sekitar 5 persen saja.
"Demikianlah jatuh perbandingan banyak bangsa Melayu yang semula 90 persen, tapi ketika Inggris masuk, menyusut sampai tinggal 5 persen, atau 1 persen, dari jumlah penduduk dalam waktu satu abad di kemudian hari."
0 comments:
Post a Comment