Jejak Tentara Jawa dan Turki di Tidore


Pada tahun 1584, seorang pejabat Spanyol bernama Pedro Sarmiento tiba di wilayah Maluku, tepatnya di pulau Tidore. Dalam kunjungannya itu, ia menulis sebuah laporan penting yang memberikan gambaran strategis dan militer tentang Kesultanan Ternate, salah satu kekuatan utama di Kepulauan Rempah-rempah. Dokumen yang kini tersimpan dalam arsip-arsip kolonial Spanyol tersebut menjadi salah satu sumber paling otentik mengenai dinamika geopolitik dan jaringan internasional yang terjalin di wilayah Nusantara pada abad ke-16.

Sarmiento mencatat bahwa Kesultanan Ternate kala itu memiliki pertahanan yang sangat kuat. Di dalam laporannya, ia menyebutkan keberadaan pasukan asing yang membantu sang sultan dalam memperkuat posisinya. Yang paling menonjol adalah keberadaan dua puluh orang tentara asal Turki Utsmani yang dikenal sebagai ahli dalam penggunaan senjata api. Peran mereka dalam memperkuat pertahanan benteng serta kemampuan taktis mereka diakui secara eksplisit oleh Sarmiento.

Namun yang lebih mengejutkan dalam laporan itu adalah catatan tentang bantuan besar dari Jawa. Menurut Sarmiento, bantuan yang datang dari Tanah Jawa kepada Kesultanan Ternate sangat signifikan. Ia menyebut jumlah tentara yang dikirim mencapai seribu orang lengkap dengan perlengkapan perang, artileri, dan kapal-kapal. Hal ini menunjukkan bahwa jaringan politik dan militer di Nusantara kala itu sudah sangat terhubung, jauh sebelum konsep negara modern terbentuk.

Dalam naskah asli yang kini tersimpan dalam arsip Spanyol tersebut, tampak jelas gaya penulisan khas abad ke-16. Sarmiento menjabarkan secara rinci kondisi geografis Tidore dan wilayah sekitar, termasuk kekuatan pasukan, struktur pertahanan, serta keterlibatan kekuatan asing dalam mendukung posisi sultan. Dalam satu bagian, ia menyatakan bahwa benteng-benteng yang ada di sana “muy fuertes” (sangat kuat), dan “tienen artillerĂ­a y muchos soldados” (memiliki artileri dan banyak prajurit).

Tidak hanya itu, laporan tersebut juga menggambarkan jalur distribusi rempah-rempah yang menjadi rebutan kekuatan besar dunia. Ternate dan Tidore kala itu menjadi episentrum perdagangan pala dan cengkeh, dua komoditas yang nilainya setara dengan emas di pasar Eropa. Keterlibatan Turki, Jawa, dan juga kekuatan lokal lainnya dalam mendukung Ternate bukan hanya didasarkan atas solidaritas Islam, tetapi juga oleh kepentingan ekonomi dan geopolitik.


Arsip ini membuka tabir sejarah yang selama ini lebih banyak dilihat dari sudut pandang Belanda. Selama ratusan tahun, banyak narasi sejarah Indonesia dibentuk berdasarkan laporan-laporan Belanda seperti VOC atau Bataviaasch Genootschap. Namun dokumen Pedro Sarmiento membuktikan bahwa Spanyol juga memiliki catatan sangat berharga dalam membaca peta kekuatan lokal di Nusantara.

Selain Spanyol, Portugis dan Arab pun memiliki arsip-arsip yang mencatat interaksi mereka dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia. Dari catatan Portugis misalnya, kita mengetahui peran penting Kesultanan Gowa, Aceh, hingga hubungan perdagangan antara Malaka dan Demak. Catatan dari dunia Arab menyentuh aspek keislaman, hukum, dan hubungan budaya yang mendalam antara Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Khusus dalam laporan Sarmiento ini, menarik bahwa ia menggunakan istilah “Rey” (raja) dalam menyebut para penguasa lokal, menandakan adanya pengakuan terhadap struktur kekuasaan yang sudah mapan. Ia bahkan menyebut beberapa penguasa memiliki kekuatan seperti “armas, artillerĂ­a, y otros instrumentos de fuego” (senjata, artileri, dan senjata api), yang merupakan teknologi tinggi saat itu.

Analisis terhadap dokumen ini juga menunjukkan bahwa Spanyol sangat memperhatikan potensi militer dan ekonomi dari setiap kerajaan yang mereka temui. Bukan hanya dilihat sebagai wilayah untuk dijajah, tapi juga sebagai entitas politik yang bisa menjadi sekutu atau lawan, tergantung pada kepentingan kolonial yang berkembang saat itu.

Keterangan yang menyebut bahwa kapal dan artileri datang dari Jawa ke Ternate memberi gambaran bahwa kerajaan-kerajaan di Jawa memiliki kemampuan produksi senjata dan perkapalan yang tidak bisa diremehkan. Hal ini juga menunjukkan bahwa hubungan antara barat Indonesia dan timur tidak sepenuhnya terputus, tetapi justru aktif dan saling mendukung satu sama lain dalam kerangka geopolitik Nusantara.

Dalam laporan tersebut, Sarmiento juga menjelaskan posisi strategis Ternate dan Tidore yang dikelilingi benteng dan pegunungan, serta kemampuan mereka dalam mengontrol jalur laut yang menjadi urat nadi perdagangan rempah. Ia bahkan mencatat jumlah meriam dan keberadaan galangan kapal yang dikerjakan oleh para ahli lokal dan asing.

Menarik pula ketika Sarmiento menyebut bahwa orang-orang Ternate memelihara sistem pertahanan yang kuat serta menunjukkan ketaatan pada penguasanya, menandakan struktur sosial yang disiplin. Ia mencatat bahwa para penduduk bersedia berjuang dan mempertahankan wilayah mereka dengan penuh loyalitas.

Catatan ini tidak hanya penting bagi sejarawan, tetapi juga bagi generasi muda Indonesia yang ingin mengetahui bahwa nenek moyangnya memiliki jaringan diplomasi, militer, dan perdagangan yang begitu luas. Tidak kalah dari bangsa-bangsa besar dunia kala itu, para penguasa Nusantara sudah berurusan dengan Turki, Spanyol, Portugis, bahkan China dan Arab.

Dengan hadirnya kembali dokumen seperti ini, sejarah Indonesia bisa ditulis ulang dari perspektif yang lebih utuh. Kita tidak lagi hanya melihat perlawanan terhadap Belanda, tapi juga melihat jaringan kekuatan yang lebih luas—yang mencakup lintas benua dan melibatkan pertukaran teknologi, militer, dan budaya.

Gambar naskah asli yang berasal dari laporan Sarmiento ini memperkuat pentingnya arsip-arsip Spanyol sebagai sumber sejarah primer yang harus digali lebih dalam. Dalam konteks rekonstruksi sejarah perdagangan rempah dan geopolitik Asia Tenggara, arsip ini menjadi penyeimbang dari dominasi literatur kolonial Belanda yang selama ini mendominasi.

Karena itu, penting bagi akademisi Indonesia untuk lebih aktif menelusuri arsip-arsip kolonial non-Belanda. Laporan Pedro Sarmiento ini hanya satu dari banyak contoh bahwa sumber sejarah Indonesia tersebar luas di berbagai perpustakaan dan arsip dunia.

Dengan semakin banyaknya temuan dan kajian lintas arsip seperti ini, masa depan historiografi Indonesia akan semakin kaya dan inklusif. Ini menjadi peluang besar bagi peneliti muda untuk menggali kembali narasi besar Indonesia dalam panggung sejarah global.


Share on Google Plus

About Admin2

Aksi damai yang digelar jutaan umat Islam di Monas, Jakarta ternyata memberi kesan indah merupakan aksi damai Pancasila; Yakni aksi yang religi, diisi ibadah, damai, bermoral tinggi, saling menghargai antara peserta dan aparat keamanan, saling bantu antara peserta aksi dan masyarakat.

0 comments:

Post a Comment

loading...